Senin, 28 Juni 2021

MEMAHAMI MAKNA FIQH DAN SYARI'AT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

         Banyak orang yang menganggap Fiqh adalah Syari’at. Dan Syari’at adalah Fiqh. Namun secara spesifik, antara Syari’ah dan Fiqh ada distingsi tersendiri. Secara etimologi, fiqh memiliki arti sebagai berikut:

a.       Al-fahmu muthlaqan (faham secara mutlak) baik pemahamannya bersifat mendalam atau tidak, sesuai dengan maksud pembicara atau bukan.

b.      Fahmu al-sya'i al-daqîqah (paham terhadap sesuatu –ucapan atau tindakan– secara mendalam). Pemaknaan ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an,

...فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ... [التوبة/122]

“...Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…“ [QS. al-Tawbah (9):122][1]

Searti dengan pemaknaan ini, adalah definisi Raghib al-Asfahani yang menyatakan bahwa fiqh adalah,

مَعْرِفَةُ بَاطِنِ الشَّيْئِ وَاْلوُصُوْلُ إِلىَ أَعْمَاقِهِ

“Mengetahui substansi sesuatu hingga sampai mendalam”

Sealur dengan pemaknaan ini adalah pengertian Dr. M. Fathi Duraini dalam kitab Buhûts Muqâranah fî al-Fiqh al-Islâmiy mengutip dari kamus al-Muhith. Menurut beliau, fiqh adalah pemahaman mendalam yang meniscayakan pengerahan nalar secara total. Dan arti inilah yang sealur dengan pengertian fiqh secara terminologi.

c.       Fahm ghardh al-mutakallim min kalâmih (paham terhadap maksud pembicara).

Menurut istilah, kata fiqh dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa kali perubahan pengertian. Pada masa awal Islam sampai dengan menjelang munculnya madzhab di bidang fiqh, kata fiqh mengandung makna pemahaman terhadap semua ajaran Islam baik yang berhubungan dengan masalah aqidah, amaliyyah, dan akhlak. Dengan demikian, term fiqh searti dengan syarî`at[2] dan dîn.

Pengertian tersebut berangkat dari ekspresi ayat al-Qur’an,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ... [التوبة/122]

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama...” [QS. al-Tawbah (9):122]

Pengertian fiqh ini juga dikemukakan oleh Nabi Muhammad saw. ketika mendoakan Ibnu Abbas, Nabi bersabda,

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فيِ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Ya Tuhan, anugerahi dia (Ibn Abbas) pengetahuan tentang agama dan ajari dia takwîl (tafsîr).” [Hadits Riwayat Imam Ahmad][3]

Term al-fiqh dalam bentuk kata perintah yang berbunyi “faqqih” pada hadits di atas mengandung makna "Memahami dan  memiliki ilmu untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam teks syariat sebagai sumber hukum Islam".

Demikianlah, kata “fiqh” berdasarkan teks-teks al-Qur’ân dan al-Hadîts di atas menunjukkan makna yang jauh lebih luas daripada sekadar pengetahuan tentang hukum-hukum praktis yang menyangkut tingkah laku manusia. Singkatnya, fiqh dalam pengertian ini adalah pandangan atau perspektif keagamaan mengenai berbagai hal, baik yang berkaitan dengan atural-aturan hukum maupun aspek keagamaan lainnya.

Di samping fiqh diartikan sebagai sebuah pemahaman, juga digunakan untuk menunjukkan hukum itu sendiri. Misalnya adalah Sabda Rasul,[4]

رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

“Banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya.”

Pengertian umum demikian tetap eksis pada abad kedua hijriah. Hal ini dapat dilihat lewat pengertian fiqh yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah dalam kitabnya “al-Fiqh al-Akbar”. Menurut Beliau, fiqh adalah,

مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَا لَهَا وَمَا عَلَيْهَا

“Pengetahuan seseorang akan hak dan kewajibannya”.[5]

Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syariat, dan akhlak. Fiqh dizamannya masih dipahami secara luas. [6] Di zaman Beliau, ilmu kalam disebut dengan al-fiqh al-akbar. [7] Diantara Ulama yang mendefiniskan fiqh secara umum adalah Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) dalam bukunya al-Bahr al-Muhîth mengatakan, “Fiqh pada dasarnya adalah pengetahuan yang mencakup semua aturan agama yang mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang Tuhan, keesaan Tuhan, dan sifat-sifat-Nya, para nabi dan rasul-Nya, tentang tingkah laku manusia, etika (akhlâq) dan apa yang perlu dilakukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lain.” [8]

Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas, pengertian umum itu mengalami penyempitan makna, sehingga mengandung pengertian pemahaman terhadap ajaran Islam yang menyangkut ajaran atural-aturan legal-formal.

Sebagai sebuah istilah, fiqh –sebagaimana disiplin ilmu yang lain– didefinisikan dengan dua pendekatan[9], yaitu al-idrâk dan al-mudrak. [10] Jika didekati dengan al-idrâk, fiqh berarti ilmu hukum atau yurisprudensi. Sedangkan jika memakai pendekatan  al-mudrak, fiqh berarti hukum syar`i (law) selaku objek kajian.

Dalam arti sebagai ilmu hukum[11], fiqh diidentifikasikan sebagai

َالْعِلْمُ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.

“Pengetahuan tentang hukum-hukum syara` praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.” [12]

Dengan lebih detail tekhnis, Fathi al-Duraini menyatakan bahwa fiqh merupakan pemahaman mendalam terhadap nash-nash syar`iyyah atau ijtihad untuk menemukan arti, `illat dan tujuan nushûs syar`iyyah.

Fiqh dalam arti sebagai ilmu hukum ini berarti sama dengan modus kerja ijtihad. Sebagaimana maklum bahwa ijtihad adalah ekstraplorasi hukum syariat dari dalil yang terperinci dengan bersandar pada kaidah-kaidah istidlâliyyah dan metode ushûliyyah. Dan kerja seperti ini hanya dimampui oleh mujtahid semata. Sedangakan muqallid dan orang yang hanya sekedar hafal furû` maka pengetahuannya tidak dapat disebut dengan fiqh.

Sedangkan dalam arti sebagai hasil ilmu (hukum itu sendiri), baik yang bersifat qath`iyy (pasti) maupun yang bersifat zhanniy (relatif)[13], fiqh didefinisikan dengan

مَجْمُوْعَةُ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.

“Kumpulan hukum-hukum praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Dalam pemaknaan fiqh sebagai hukum itu sendiri, Fathi al-Duraini menyatakan bahwa hukum disini adakalanya (1). Hukum manshûs yang diperoleh dari kerja ijtihad terhadap nushûs syariyyah, dan (2). Hukum ghairu manshûshah yang diperoleh dengan mengacu kepada causa legis sebuah kasus parsial atau dengan mengacu terhadap kandungan umum sejumlah nushûs.[14]

Di era stagnasi-kejumudan fiqh dan menguatnya tradisi bertaklid, pemaknaan fiqh lebih meluas lagi. Ia tidak hanya dipahami sebagai kumpulan hukum yang secara tegas ditunjukkan oleh wahyu dan hukum yang diperoleh mujtahid dengan ijtihadnya, tetapi ia juga dipahami sebagai ketentuan hukum yang diperoleh lewat proses takhrîj yang dilakukan oleh muqallid dari kaidah dan dasar imam mujtahid.[15]

Begitulah, dinamika pemaknaan dan penggunaan kata “fiqh” dalam diskursus keislaman. Dewasa ini, kata “fiqh” tampaknya tengah menuju pada maknanya yang genuine. Fiqh tidak lagi hanya digunakan untuk persoalal-persoalan hukum semata, tetapi juga seluruh pandangan keislaman mengenai tema tertentu, atau yang muncul dengan perspektif tertentu, atau lingkungan geografis tertentu. [16]

Dari uraian di atas, nampak bahwa ranah syariah dan fiqh di awal masa Islam sama-sama mencakup seluruh ajaran Islam, baik akidah, amaliah dan akhlak. Dalam perjalanan berikutnya, kedua term tadi sama-sama mengalami penyempitan makna dan hanya berpretensi mengatur ranah amaliah semata.

Setelah pergeseran makna ini, fiqh tidak hanya menjadi bagian dari syariat, melainkan juga identik dengannya. Terlebih ketika syariah disandingkan dengan term tharîqah, haqîqah dan   ma`rifah. Ketiga terma yang terkenal dalam tasawuf tersebut telah mengakibatkan terbatasnya pengertian Syari`ah sehingga   lebih banyak mengacu pada norma hukum.

Paparan di atas juga menunjukkan bahwa secara praktis kata syariah dan fiqh dapat digunakan secara sinonim dan dapat dipertukarkan yang satu dengan yang lain. Akibatnya, hukum Islam mempunyai dimensi ganda; syariat (Islamic Law)  dan fiqh (Islamic Jurisprudance). Hal ini memang dapat dimengerti karena syariah dan fiqh keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Syariah sebetulnya tidak terlalu jelas sosoknya (hukum in abstracto) hingga tidak dikenali dengan persis. Fiqh lah yang kemudian merupakan rumusal-rumusan yang diduga keras sebagai syariah. Syariah memerlukan fiqh (hukum in concreto) dalam rangka penjabarannya menjadi peraturan rinci guna menghadapi situasi konkrit, sementara fiqh mestilah bersumber kepada syariah, sehingga tidak mungkin ada fiqh tanpa syariah.

Meskipun fiqh dan syariat memiliki mafhûm yang hampir identik, kedua-duanya masih dapat dibedakan, sekalipun perbedaan itu sangat kabur; apalagi para ulama sendiri sering menggunakan istilah itu dalam pengertian yang sama.

Keduanya senantiasa memiliki objek materi yang sama, yakni berkisar pada norma-norma dan nilai-nilai yang menyangkut tindakan seorang muklalaf. Syariat dijadikan sebagai sumber tempat bertolak dalam mendapatkan suatu ketentuan hukum. Sedangkan fiqh adalah ketentuan teknis yang diperoleh dari upaya ijtihad terhadap syariat. Ketentuan teknis fiqh  itu mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah swt. maupun dengan sesama manusia.

 



[1] Departemen Agama RI. 1997. Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 227. Semarang: PT Intan Sari.

[2] Makna fiqh seperti ini sama dengan pengertian syariah. Hanya dalam perkembangannya syariah juga beberapa mengalami bongkar pasang makna.

[3] Ahmad bin Hanbal. Musnad Imâm Ahmad. Nomor Hadîst: 2274.

[4] Ibid. Nomor Hadits 20608.

[5] Dalam kitab al-Tafrîq Baina al-Ushûl wa al-Furû` disebutkan bahwa maksud dengan pergertian Abu Hanifah di atas bukanlah paham, tetapi penyebab paham yaitu bakat yang diperoleh dengan pengamatan terhadap kaidah-kaidah berulang-ulang. ( الملكة الحاصلة من تتبع  القواعد مرة بعد أخرى.).

[6] Karena itulah, ulama Ahnaf dikemudian hari menambahkan kata "amalan" –praktis– terhadap definisi fiqh yang dikemukakan Imam Abu Hanifah. Fathi al-Duraini, Buhûts Muqâranah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. I, 1994), jld. I, hlm. 14. Bandingkan dengan al-Tafrîq Baina al-Ushûl wa al-Furû`.

[7] Muhammad Mushtafa Syalbi. Op. Cit., hlm. 32.

[8] Zarkasyi. 2000. al-Bahr al-Muhîth, jld I, Editor: Muhammad Tamir. hlm. 16. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.

[9] Sedangkan Syekh Nashir bin Abdul Aziz menyimpulkan bahwa fiqh mempunyai empat makna isthilahiy. (1). Keseluruhan aspek ajaran Islam yang meliputi akidah, syariat, dan akhlak. Fiqh dalam arti ini berarti sama dengan makna syariat, (2). Masalah-masalah amaliah baik yang bersifat aksiomatis atau non-aksiomatis, (3). masalah-masalah amaliah non aksiomatis, dan (4). Istinbâth hukum. Nashir bin Abdul Aziz. 1997. al-Tafrîq Baina al-Ushûl wa al-Furû`, cet. I, jld. I, hlm. 115-116 Riyadl: Dâr al-Muslim.

[10] Terdapat tiga pendekatan dalam mendefiniskan sebuah disiplin keilmuan. (1). al-idrâk yang biasa diredaksikan dengan ilmu, ma`rifat atau nazhar. (2). Al-Mudrak yang identik dengan objek kajian ilmu yang bersangkutan, dan (3). Penguasaan terhadap objek sebuah ilmu.   Nashir bin Abdul Aziz. Op. Cit., hlm. 61-63. 

[11] Fiqh sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan sebagai berikut:
a.        Dihasilkan dari akumulasi pengetahual-pengetahuan yang tersusun melalui asal-asas tertentu.
b.       Pengetahual-pengetahuan itu terjaring dalam satu kesatuan sistem.
c.        Mempunyai metode tertentu
Pengetahuan-pengetahuan dalam fiqh meliputi pengetahuan tentang dalil (nash-nash), tentang perintah dan larangan. Pengetahual-pengetahuan itu diakumulasikan melalui asal-asas tertentu sehingga tersusun baik. Asal-asas dimaksud misalnya asas al-tadrîj, taqlîl al-takâlif, `adam al-haraj dan lain-lain.
Pengetahual-pengetahuan itu dapat diakumulasikan dan disusun  dengan baik karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu sistem tertentu. Pengetahuan tentang dalil itu tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan pengetahuan tentang perintah dan larangan, sebab suatu pesan berwujud dalil manakala berkaitan makna dengan perintah atau larangan, sebagaimana wujud pesan itu makna tuntutan manakala kemunculannya dari dalil dalam satu kesatuan sistem.
Karakter ketiga bagi fiqh sebagai ilmu ialah adanya metode-metode tertentu dalam fiqh. Karakteristik ini menunjukkan adanya aspek epistemologi dalam fiqh. Metode-metode ini tertuang dalam ushul fiqh dan al-qawâ’id al-fiqhiyyah yang dalam operasionalnya meliputi. 1). Metode deduktif (istinbâth), 2). Metode induktif (istiqrâ’i), 3). Metode takwini (asbâb nuzûl-wurûd, historical approach), 4).metode dialektika (jadali), tesa antitesa, analogi. Para fuqaha menggunakan metode ini untuk menentukan hukum terhadap sesuatu masalah yang secara fisik tidak disebut dalam nash, tetapi secara simbolik diisyaratkan oleh nash karena ada referensi (penunjukan) tertentu.
Konsekuensi fiqh sebagai ilmu
a.        Skeptis. Skeptisitas fiqh sebagai ilmu berarti ketentual-ketentuan hukum fiqh bersifat zhanny.
b.       Bersedia untuk diuji dan dikaji ulang. Ini sebagai konsekuensi skeptisitas fiqh.
c.        Tidak kebal kritik. Ketetapan menggunakan metode dan pendekatan tertentu terhadap suatu masalah dan alasal-alasan tertentu terhadap suatu keputusan (natîjah) terbuka untuk dikritik. Upaya kritik ini bisa melalui studi perbandingan mazhab, tarjîh dan tashhîh.

[12] Defenisi tersebut dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang. Secara implisit, al-Raysuni menyatakan bahwa pendefinisian fiqh di atas tidak jâmi`. Menurut beliau, semestinya dan senyatanya, ketentuan hukum sebuah kasus parsial tidaklah hanya dideduksi dari teks-teks agama yang parsial. Karenanya, perlu ditambahkan "min mabâdi al-tasyrî' wa maqâshidihi al-`âmmah" (prinsip-prinsip dasar dan tujuan umum diundangkannya hukum) untuk mengakomodir ketentuan hukum dari kasus-kasus baru yang tidak terwadahi dalam cangkang teks parsial.

[13] Fathi al-Duraini. Op. Cit., jld I, hlm. 15-16.

[14] Ibid., hlm. 16.

[15] Muhammad Mushtafa Syalbi. Op. Cit., hlm. 32.

[16] Penisbatan kata “fiqh” kini sedang populer digandengkan dengan tema kajian yang sangat spesifik. Untuk model kajian tertentu, misalnya, muncul istilah “Fiqh al-Bî’ah” untuk mengemukakan pandangan Islam tentang lingkungan hidup, atau “Fiqh al-Nisâ” untuk menjelaskan pandangan Islam tentang persoalal-persoalan perempuan atau pandangan Islam yang membela kaum perempuan. Demikian juga, istilah “Fiqh Perburuhan” untuk menerangkan pandangan Islam tentang perburuhan, “Fiqh Pertanahan” untuk menyebut pandangan Islam tentang pertanahan, “Fiqh Rakyat” untuk pandangan agama mengenai soal-soal kerakyatan, dan “Fiqh Lintas Agama” untuk kajian Islam tentang hubungan orang-orang yang berbeda agama atau hubungan antarpemeluk agama dalam perspektif keIslaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending di Blog

MENGENAL SANG MAHA GURU DARI TANAH MELAYU NEGERI JAMBI

     Para Ulama' Negeri Melayu Jambi  Beliau bernama Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin Jantan gelar sri penghulu, lahir pada t...