Banyak orang yang menganggap Fiqh adalah Syari’at. Dan Syari’at adalah Fiqh. Namun secara spesifik, antara Syari’ah dan Fiqh ada distingsi tersendiri. Secara etimologi, fiqh memiliki arti sebagai berikut:
a.
Al-fahmu
muthlaqan (faham secara mutlak) baik pemahamannya bersifat
mendalam atau tidak, sesuai dengan maksud pembicara atau bukan.
b.
Fahmu
al-sya'i al-daqîqah (paham terhadap sesuatu –ucapan atau
tindakan– secara mendalam). Pemaknaan ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an,
...فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ... [التوبة/122]
“...Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…“ [QS. al-Tawbah (9):122][1]
Searti dengan pemaknaan ini, adalah definisi Raghib
al-Asfahani yang menyatakan bahwa fiqh adalah,
مَعْرِفَةُ بَاطِنِ
الشَّيْئِ وَاْلوُصُوْلُ إِلىَ أَعْمَاقِهِ
“Mengetahui
substansi sesuatu hingga sampai mendalam”
Sealur dengan pemaknaan ini adalah pengertian Dr. M. Fathi
Duraini dalam kitab Buhûts Muqâranah fî al-Fiqh al-Islâmiy mengutip dari kamus
al-Muhith. Menurut beliau, fiqh adalah pemahaman mendalam yang meniscayakan
pengerahan nalar secara total. Dan arti inilah yang sealur dengan pengertian
fiqh secara terminologi.
c.
Fahm
ghardh al-mutakallim min kalâmih (paham terhadap maksud pembicara).
Menurut istilah, kata fiqh dalam perjalanan sejarahnya
mengalami beberapa kali perubahan pengertian. Pada masa awal Islam sampai
dengan menjelang munculnya madzhab di bidang fiqh, kata fiqh mengandung makna
pemahaman terhadap semua ajaran Islam baik yang berhubungan dengan masalah
aqidah, amaliyyah, dan akhlak. Dengan demikian, term fiqh searti dengan syarî`at[2]
dan dîn.
Pengertian tersebut berangkat dari ekspresi ayat al-Qur’an,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ... [التوبة/122]
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama...” [QS. al-Tawbah (9):122]
Pengertian fiqh ini juga dikemukakan oleh Nabi Muhammad saw.
ketika mendoakan Ibnu Abbas, Nabi bersabda,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فيِ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“Ya
Tuhan, anugerahi dia (Ibn Abbas) pengetahuan tentang agama dan ajari dia takwîl
(tafsîr).” [Hadits Riwayat Imam Ahmad][3]
Term
al-fiqh dalam bentuk kata perintah yang berbunyi “faqqih” pada hadits di atas mengandung makna "Memahami dan memiliki ilmu untuk mengetahui makna yang
terkandung di dalam teks syariat sebagai sumber hukum Islam".
Demikianlah, kata “fiqh” berdasarkan teks-teks al-Qur’ân
dan al-Hadîts di atas menunjukkan makna yang jauh lebih luas daripada sekadar
pengetahuan tentang hukum-hukum praktis yang menyangkut tingkah laku manusia.
Singkatnya, fiqh dalam pengertian ini adalah pandangan atau perspektif
keagamaan mengenai berbagai hal, baik yang berkaitan dengan atural-aturan hukum
maupun aspek keagamaan lainnya.
Di samping fiqh diartikan sebagai sebuah pemahaman, juga
digunakan untuk menunjukkan hukum itu sendiri. Misalnya adalah Sabda Rasul,[4]
رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ
أَفْقَهُ مِنْهُ
“Banyak orang yang membawa fiqh kepada
orang yang lebih paham darinya.”
Pengertian
umum demikian tetap eksis pada abad kedua hijriah. Hal ini dapat dilihat lewat
pengertian fiqh yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah dalam kitabnya “al-Fiqh al-Akbar”. Menurut Beliau, fiqh
adalah,
مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَا لَهَا وَمَا عَلَيْهَا
“Pengetahuan
seseorang akan hak dan kewajibannya”.[5]
Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu
akidah, syariat, dan akhlak. Fiqh dizamannya masih dipahami secara luas. [6]
Di zaman Beliau, ilmu kalam disebut dengan al-fiqh
al-akbar. [7]
Diantara Ulama yang mendefiniskan fiqh secara umum adalah Imam Badruddin al-Zarkasyi
(w. 794 H) dalam bukunya al-Bahr
al-Muhîth mengatakan, “Fiqh pada dasarnya adalah pengetahuan yang mencakup
semua aturan agama yang mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang Tuhan,
keesaan Tuhan, dan sifat-sifat-Nya, para nabi dan rasul-Nya, tentang tingkah
laku manusia, etika (akhlâq) dan apa
yang perlu dilakukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lain.” [8]
Dalam
perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas,
pengertian umum itu mengalami penyempitan makna, sehingga mengandung pengertian
pemahaman terhadap ajaran Islam yang menyangkut ajaran atural-aturan
legal-formal.
Sebagai
sebuah istilah, fiqh –sebagaimana disiplin ilmu yang lain– didefinisikan dengan
dua pendekatan[9], yaitu al-idrâk dan al-mudrak. [10]
Jika didekati dengan al-idrâk, fiqh
berarti ilmu hukum atau yurisprudensi. Sedangkan jika memakai pendekatan al-mudrak,
fiqh berarti hukum syar`i (law)
selaku objek kajian.
Dalam arti sebagai ilmu hukum[11], fiqh
diidentifikasikan sebagai
َالْعِلْمُ
بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
“Pengetahuan
tentang hukum-hukum syara` praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.” [12]
Dengan lebih detail tekhnis, Fathi al-Duraini
menyatakan bahwa fiqh merupakan pemahaman mendalam terhadap nash-nash syar`iyyah atau ijtihad untuk
menemukan arti, `illat dan tujuan nushûs syar`iyyah.
Fiqh dalam arti sebagai ilmu hukum ini berarti sama
dengan modus kerja ijtihad. Sebagaimana maklum bahwa ijtihad adalah
ekstraplorasi hukum syariat dari dalil yang terperinci dengan bersandar pada
kaidah-kaidah istidlâliyyah dan
metode ushûliyyah. Dan kerja seperti ini hanya dimampui oleh mujtahid
semata. Sedangakan muqallid dan orang
yang hanya sekedar hafal furû` maka
pengetahuannya tidak dapat disebut dengan fiqh.
Sedangkan dalam arti sebagai hasil ilmu (hukum itu
sendiri), baik yang bersifat qath`iyy
(pasti) maupun yang bersifat zhanniy
(relatif)[13], fiqh
didefinisikan dengan
مَجْمُوْعَةُ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ
مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
“Kumpulan
hukum-hukum praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
Dalam pemaknaan fiqh sebagai hukum itu sendiri, Fathi al-Duraini
menyatakan bahwa hukum disini adakalanya (1). Hukum manshûs yang diperoleh dari kerja ijtihad terhadap nushûs syariyyah, dan (2). Hukum ghairu manshûshah yang diperoleh dengan
mengacu kepada causa legis sebuah
kasus parsial atau dengan mengacu terhadap kandungan umum sejumlah nushûs.[14]
Di era stagnasi-kejumudan fiqh dan menguatnya tradisi
bertaklid, pemaknaan fiqh lebih meluas lagi. Ia tidak hanya dipahami sebagai
kumpulan hukum yang secara tegas ditunjukkan oleh wahyu dan hukum yang
diperoleh mujtahid dengan ijtihadnya, tetapi ia juga dipahami sebagai ketentuan
hukum yang diperoleh lewat proses takhrîj
yang dilakukan oleh muqallid dari
kaidah dan dasar imam mujtahid.[15]
Begitulah, dinamika pemaknaan dan penggunaan kata “fiqh” dalam diskursus keislaman.
Dewasa ini, kata “fiqh” tampaknya tengah menuju pada maknanya yang genuine. Fiqh tidak lagi hanya digunakan
untuk persoalal-persoalan hukum semata, tetapi juga seluruh pandangan keislaman
mengenai tema tertentu, atau yang muncul dengan perspektif tertentu, atau
lingkungan geografis tertentu. [16]
Dari uraian di atas, nampak bahwa ranah syariah dan fiqh di awal masa Islam
sama-sama mencakup seluruh ajaran Islam, baik akidah, amaliah dan akhlak. Dalam
perjalanan berikutnya, kedua term tadi sama-sama mengalami penyempitan makna
dan hanya berpretensi mengatur ranah amaliah semata.
Setelah pergeseran makna ini, fiqh tidak hanya menjadi
bagian dari syariat, melainkan juga identik dengannya. Terlebih ketika syariah
disandingkan dengan term tharîqah, haqîqah dan ma`rifah.
Ketiga terma yang terkenal dalam tasawuf tersebut telah mengakibatkan
terbatasnya pengertian Syari`ah sehingga
lebih banyak mengacu pada norma hukum.
Paparan di atas juga menunjukkan bahwa secara praktis
kata syariah dan fiqh dapat digunakan secara sinonim dan dapat dipertukarkan
yang satu dengan yang lain. Akibatnya, hukum Islam mempunyai dimensi ganda;
syariat (Islamic Law) dan fiqh (Islamic
Jurisprudance). Hal ini memang dapat dimengerti karena syariah dan fiqh
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Syariah sebetulnya tidak
terlalu jelas sosoknya (hukum in
abstracto) hingga tidak dikenali dengan persis. Fiqh lah yang kemudian
merupakan rumusal-rumusan yang diduga keras sebagai syariah. Syariah memerlukan
fiqh (hukum in concreto) dalam rangka
penjabarannya menjadi peraturan rinci guna menghadapi situasi konkrit, sementara
fiqh mestilah bersumber kepada syariah, sehingga tidak mungkin ada fiqh tanpa
syariah.
Meskipun fiqh dan syariat memiliki mafhûm yang hampir identik, kedua-duanya
masih dapat dibedakan, sekalipun perbedaan itu sangat kabur; apalagi para ulama
sendiri sering menggunakan istilah itu dalam pengertian yang sama.
Keduanya
senantiasa memiliki objek materi yang sama, yakni berkisar pada norma-norma dan
nilai-nilai yang menyangkut tindakan seorang muklalaf. Syariat dijadikan
sebagai sumber tempat bertolak dalam mendapatkan suatu ketentuan hukum.
Sedangkan fiqh adalah ketentuan teknis yang diperoleh dari upaya ijtihad
terhadap syariat. Ketentuan teknis fiqh
itu mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam hubungan
dengan Allah swt. maupun dengan sesama manusia.
[1] Departemen Agama RI. 1997. Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 227. Semarang: PT Intan Sari.
[2] Makna fiqh seperti ini sama dengan pengertian syariah. Hanya dalam perkembangannya syariah juga beberapa mengalami bongkar pasang makna.
[3] Ahmad bin Hanbal. Musnad Imâm Ahmad. Nomor Hadîst: 2274.
[4] Ibid. Nomor Hadits 20608.
[5] Dalam kitab al-Tafrîq Baina al-Ushûl wa al-Furû` disebutkan bahwa maksud dengan pergertian Abu Hanifah di atas bukanlah paham, tetapi penyebab paham yaitu bakat yang diperoleh dengan pengamatan terhadap kaidah-kaidah berulang-ulang. ( الملكة الحاصلة من تتبع القواعد مرة بعد أخرى.).
[6] Karena itulah, ulama Ahnaf dikemudian hari menambahkan kata "amalan" –praktis– terhadap definisi fiqh yang dikemukakan Imam Abu Hanifah. Fathi al-Duraini, Buhûts Muqâranah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. I, 1994), jld. I, hlm. 14. Bandingkan dengan al-Tafrîq Baina al-Ushûl wa al-Furû`.
[7] Muhammad Mushtafa Syalbi. Op. Cit., hlm. 32.
[8] Zarkasyi. 2000. al-Bahr al-Muhîth, jld I, Editor: Muhammad Tamir. hlm. 16. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.
[9] Sedangkan Syekh Nashir bin Abdul Aziz menyimpulkan bahwa fiqh mempunyai empat makna isthilahiy. (1). Keseluruhan aspek ajaran Islam yang meliputi akidah, syariat, dan akhlak. Fiqh dalam arti ini berarti sama dengan makna syariat, (2). Masalah-masalah amaliah baik yang bersifat aksiomatis atau non-aksiomatis, (3). masalah-masalah amaliah non aksiomatis, dan (4). Istinbâth hukum. Nashir bin Abdul Aziz. 1997. al-Tafrîq Baina al-Ushûl wa al-Furû`, cet. I, jld. I, hlm. 115-116 Riyadl: Dâr al-Muslim.
[10] Terdapat tiga pendekatan dalam mendefiniskan sebuah disiplin keilmuan. (1). al-idrâk yang biasa diredaksikan dengan ilmu, ma`rifat atau nazhar. (2). Al-Mudrak yang identik dengan objek kajian ilmu yang bersangkutan, dan (3). Penguasaan terhadap objek sebuah ilmu. Nashir bin Abdul Aziz. Op. Cit., hlm. 61-63.
[11] Fiqh
sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan sebagai berikut:
Karakter
ketiga bagi fiqh sebagai ilmu ialah adanya metode-metode tertentu dalam fiqh.
Karakteristik ini menunjukkan adanya aspek epistemologi dalam fiqh.
Metode-metode ini tertuang dalam ushul fiqh dan al-qawâ’id al-fiqhiyyah
yang dalam operasionalnya meliputi. 1). Metode deduktif (istinbâth), 2).
Metode induktif (istiqrâ’i), 3). Metode takwini (asbâb
nuzûl-wurûd, historical approach), 4).metode dialektika (jadali),
tesa antitesa, analogi. Para fuqaha menggunakan metode ini untuk menentukan
hukum terhadap sesuatu masalah yang secara fisik tidak disebut dalam nash,
tetapi secara simbolik diisyaratkan oleh nash karena ada referensi (penunjukan)
tertentu.
Konsekuensi
fiqh sebagai ilmu
a.
Skeptis.
Skeptisitas fiqh sebagai ilmu berarti ketentual-ketentuan
hukum fiqh bersifat zhanny.
c.
Tidak
kebal kritik. Ketetapan menggunakan metode dan pendekatan tertentu terhadap
suatu masalah dan alasal-alasan tertentu terhadap suatu keputusan (natîjah)
terbuka untuk dikritik. Upaya kritik ini bisa melalui studi perbandingan
mazhab, tarjîh dan tashhîh.
[12] Defenisi tersebut dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang. Secara implisit, al-Raysuni menyatakan bahwa pendefinisian fiqh di atas tidak jâmi`. Menurut beliau, semestinya dan senyatanya, ketentuan hukum sebuah kasus parsial tidaklah hanya dideduksi dari teks-teks agama yang parsial. Karenanya, perlu ditambahkan "min mabâdi al-tasyrî' wa maqâshidihi al-`âmmah" (prinsip-prinsip dasar dan tujuan umum diundangkannya hukum) untuk mengakomodir ketentuan hukum dari kasus-kasus baru yang tidak terwadahi dalam cangkang teks parsial.
[13] Fathi al-Duraini. Op. Cit., jld I, hlm. 15-16.
[14] Ibid., hlm. 16.
[15] Muhammad Mushtafa Syalbi. Op. Cit., hlm. 32.
[16] Penisbatan kata “fiqh” kini sedang populer digandengkan dengan tema kajian yang sangat spesifik. Untuk model kajian tertentu, misalnya, muncul istilah “Fiqh al-Bî’ah” untuk mengemukakan pandangan Islam tentang lingkungan hidup, atau “Fiqh al-Nisâ” untuk menjelaskan pandangan Islam tentang persoalal-persoalan perempuan atau pandangan Islam yang membela kaum perempuan. Demikian juga, istilah “Fiqh Perburuhan” untuk menerangkan pandangan Islam tentang perburuhan, “Fiqh Pertanahan” untuk menyebut pandangan Islam tentang pertanahan, “Fiqh Rakyat” untuk pandangan agama mengenai soal-soal kerakyatan, dan “Fiqh Lintas Agama” untuk kajian Islam tentang hubungan orang-orang yang berbeda agama atau hubungan antarpemeluk agama dalam perspektif keIslaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar