Banyak contoh menyatakan bahwa kawin antar agama
benar-benar problem dunia. Yaser Arafat diboikot oleh rekan-rekan seperjuangannya
dari Hamas, gara-gara ia kawin dengan wanita Kristen Amerika. Lady Diana terpaksa
diakhiri hidupnya, karena ia nekat "kawin" dengan Dody Al-Fayet yang
muslim. bahkan diindonesia saja, baru-baru ini ada yang nikah beda agama.
Di kalangan umat beragama, agama apapun, menjaga iman
merupakan kewajiban dasar. Berbagai benteng syari'at dirimuskan agar iman tidak
sampai tererosi. Termasuk larangan kawin silang.
Akan tetapi, cinta adalah soal hati. Ia bisa hinggap
kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Tak terkecuali kepada mereka
yang berbebada agama. Terus bagaimana pandangan agama menyikapi persoalan in? Kurang
lebih sama. Bagi mereka yang Katholik. Misalnya, kawin campur mestinya dilarang.
Akan tetapi jika memang benar-benar perlu, dengan berdasar pada cannon
pasal 1125, pihak gereja dapat melegalisasi, dengan beberapa catatan. Antara
lain ia diwajibkan menjaga iman; menepati janji sucinya kepada tuhan; dan ia
sadar bahwa perkawinan dalam Katholik hanya sekali. Tidak boleh cerai.
Dalam Islam bagaimana? Inilah yang hendak kita bicarakan.
Sebagaimana yang telah kami katakan di depan, bahwa menjaga
Kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tak boleh diutak-atik.
Semua perangkat Syari'ah dikerahklan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan, kalau
perlu, nyawapun harus direlakan. Dalam Ushul Fiqh, term ini disebut Hifdlu
Al-Din, yang merupakan Maqosidu Al-Tasri' (tujuan syari'at) nomor
satu.
Keseriusan Islam untuk membentengi ummatnya, tercermin dari
sikap keras Nabi. Pada suatu kesempatan, beliau bersabda:
مَنْ بَدلَ ديْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
"Barang siapa pindah agama, bunuh saja."
(HR. Muttafaq Alaihi)
Barang kali persoalan kawin campur dapat dipahami dari
segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya kelembah neraka. Karena
itulah, Ia sama sekali tidak bisa mentolerir perkawinan dengan kaum atheis
(orang yang tidak bertuhan). Allah
berfirman:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن، ولأمة مؤمنة خير من
مشركات ولو أعجبتكم، ولا تنكحواالمشركين حتى يؤمنوا
Artinya: "Dan janganlah engkau menikah dengan
wanita musyrikah, sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukminah lebih baik ketimbang wanita
musyrikah, walaupun menarik simpati hatimu. Dan janganlah engkau menikahkan
(wanita mukminah) dengan orang-orang musyrik, sampai mereka mau beriman.
Sesungguhnya budak mukmin lebih baik ketimbang orang musyrik, sekalipun mereka
membuat hatimu 'kesengsem'." (al-Baqarah: 221)
Menurut para mufassir, antara lain Imam Fahrur Razi, yang
disebut dengan musyrik /musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujudnya Tuhan
(atheis), tidak percaya pada Nabi dan hari kiamat. (Mafatihul Ghaib, XVI, 50).
Mengapa
mengawini mereka dilarang? Allah menjawab:
أولئك يدعون إلى النار والله يدعوا إلى الجنة والمغفرة
بإذنه
Artinya: "Sebab mereka akan menjerumuskanmu ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya.”
Bagaimana halnya dengan mereka yang bukan atheis?
Bolehkah nikah dengan mereka?
Untuk menyelesaikan masalah ini, marilah kita lihat dulu ayat
pertama dari surat al-Bayyinah:
لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين
منفكين حتى تأتيهم البينة
Artinya:
"Orang-orang kafir yang terdiri dari ahlul kitab dan musrikin tidak
akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata".
Ayat ini memberi informasi bahwa orang kafir ada dua
macam. Yakni ahlul kitab dan musyrikin. Yang disebut ahlul kitab adalah mereka
yang berpedoman kepada agama samawi. Sedang yang disebut musyrik adalah mereka
yang tidak mengakui Tuhan, Nabi, hari akhir dan berbagai doktrin agama samawi.
Dengan kata lain musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih
mengakui tuhan akan tetapi tidak berdasarkan kitab samawi. (Tafsir Fakhrur
Razi, XVI, 40-41; Fiqh al-Islam, VII, 153; al-Halal wa al-Haram,
178).
Dengan alur pemahaman ini kita bisa memilih agama-agama
yang ada dibelahan bumi. Sejarah mengatakan, yang tergolong agama samawi --yang
tentunya mempunyai kitab samawi pula— adalah Yahudi dan Nashrani. Dengan
demikian, hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlul kitab. Di luar itu
termasuk musyrikin.
Nikah dengan lelaki musyrik atau wanita musyrikah sudah
kita bahas di depan. Intinya tidak boleh. Bagaimana dengan ahlul kitab?
Al-Qur'an menjawab:
والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين
أوتوا الكتاب من قبلكم
Menyikapi ayat ini, para ulama' berbeda pendapat. Ibnu
umar mengatakan, "kebolehan menikahi ahlul kitab adalah 'rukhshah'
(dispensasi) karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika
jumlah mereka sudah imbang, bahkan sudah empat kali lipat – seperti terjadi
saat ini— maka 'ruhshah' sudah tidak berlaku lagi. Lebih jauh lagi beliau berkata:
"Saya tidak pernah melihat syirik yang lebih besar dibanding ucapan
seorang wanita 'tuhan saya isa'.
Alasan lain untuk melarang perkawinan ahlul kitab adalah
kata "min qoblikum" (sebelum kamu, sebelum turunnya al-Qur'an)
dengan qoyyid (catatan) ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita
ahlul kitab yang telah memeluk agama Yahudi atau Nashrani sebelum al-Qur'an diturunkan.
Sedang wanita-wanita jenis itu, jelas tidak ada lagi. (tafsir Kabir, VI,
150-151; Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, VII, 153; Majmu;, XVI,. 223; Bahr
al-Muhit, III, 448).
Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami.
Mengapa? Karena si anak dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang
ibu. Ketika ibunya Nahsrani, misalnya, peluang anak untuk menjadi Nashrani lebih
banyak.
Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlul
kitab tetap terbuka. Sebab banyak ulama yang berpegang teguh pada dhahirnya
ayat –yang memang memperbolehkan nikah dengan ahlul kitab. Di kalangan sahabat
sendiri tercatat sederet nama yang pernah menikah dengan mereka. Walaupun
berakhir dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan wanita ahlul
kutab antara lain: Usman bin Afffan, Hudzaifah, Sa'ad bin Waqosh, dan
lain-lain.
Perkawinan dengan wanita ahlul kitab bisa ditolerir,
karena dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan
prinsip-prinsip dasar agama banyak persamaan. Dengan kesamaan inilah,
kesejahteraaan mahligai rumah tanga, --yang merupakan tujuan pernikahan— sangat
mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan kesamaan ini pula, peluang untuk,
menarik istri ke Islam bukan suatu hal yang mustahil. (Azzuhaili, VII, 153).
Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan kawin dengan
ahlul kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim - wanita ahlul kitab. Sekali lagi,
ini untuk menjaga kokohnya iman. Sebab, lumprahnya, istri mudah terpengaruh.
Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan terperdaya ke agama lain. (Hikmatu
al-Tasyri', II, 33; al-Halal wa al-Haram, 179; Rawa'iul Bayan, I, 289).
Persoalan terakhir yang perlu diklarifikasi adalah apakah
agama yang ada di Indonesia bisa masuk dalam kategori ahlul kitab? Untuk agama
Hindu, Budha dan Konghucu jelas tidak bisa. Sebab mereka tidak berpatokan pada
kitab samawi. Yang tentunya konsep ketuhanan berbeda jauh.
Sedang untuk Kristen Protestan dan Katholik ada
kemungkinan. Kita sebut ada kemungkinan sebab ada ulama' yang mensyaratkan
nenek moyang mereka harus telah memeluk Kristen sebelum dinasakh (dihapus).
Persyaratan ini untuk konteks Indonesia sulit dilacak, kalau tidak dikatakan
mustahil. Sebab agama Kristen baru datang belakang. Sebelum itu, warga
Indonesia sudah memeluk Hindu, Budha, dan Islam. Dengan kata lain, wanita
Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka yang 'murtad' dari Hindu, Budha
dan Islam. Jika persyaratan ini bisa kita terima, peluang untuk menikah dengan
orang Kristen Protestan dan Katholik
tertutup rapat-rapat. ('Ianah, III, 229).
Jika kita mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada.
Sebab, menurut mereka, persyaratan ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an. Ayat kelima
surat al-Ma`idah membolehkan nikah dengan ahlul kitab dengan tanpa catatan.
Bahkan, Syaikh Nawawi –dalam Tafsir Munirnya— menyitir pendapat yang
mengatakan boleh menikah dengan ahlul kitab, sekalipun nenek moyang mereka
masuk Kristen dan Katholik setelah agama itu ditarik dari peredaran (dinasakh)
(Tafsir Munir, I, 192).
Ada rumor yang mengatakan bahwa kitab orang Kristen dan
Katholik telah berubah. Apakah hal ini mempengaruhi keabsahan nikah? Yusuf Qordlowi
dengan tegas mengatakan bahwa hal itu tidak masalah (al-Halal wa al-Haram,
178).
Allahu a'lam bisshowab
TA Santri
KLIK UNTUK KAJIAN LAINNYA>>>>>