Senin, 09 Mei 2022

HUKUM PRAKTEK JUAL BELI IKAN HASIL TANGKAPAN NELAYAN

Nelayan atau pemilik perahu tidak semuanya memiliki modal untuk melaut, sehingga diantara mereka ada yang mendapatkan modal melalui hutang. Di pihak lain, ada orang-orang yang mau memberikan modal hutang dengan beberapa syarat.

  Misalnya, hasil dari tangkapan ikan tersebut yang menjualkan adalah pihak yang memberi hutang. Inilah yang lazim disebut ambe’en. Harga penjualan biasanya disesuaikan dengan harga di palelangan. Dari hasil penjualan itu pemberi hutang atau pangambek langsung melakukan pemotongan. Misalnya jika ikan laku 5000 rupiah, maka nelayan akan mendapatkan 4000 rupiah. Sedangkan yang 1000 rupiah dipotong oleh pemberi hutang dengan rincian, 500 rupiah sebagai imbalan karena ia telah memberikan utang dan 500 yang lain sebagai upah karena ia telah memediasi antara nelayan dengan pelelangan.

Disamping itu, terdapat pula praktek pembelian ikan yang dilakukan oleh blantik. Praktek pembelian ikan oleh Blantik ini terdapat dua model. Pertama blantik yang kemudian melakukan pemindangan terhadap ikan yang telah dibelinya, dan kedua blantik yang mengoperkan atau memindahkan kembali hasil pembeliaannya kepada blantik lain. Masalahnya blantik model pemindangan tidak lansung memberikan harga ikan yang telah dibelinya. Melainkan menunggu ikan yang telah dipindangnya laku dijual. Jika  blantik rugi karena ikan pindangannya tidak laku dipasaran, maka umumnya blantik enggan membayarnya.

@ Pertayaan:

a. Bagaimana hukum pemotongan lansung yang dilakukan oleh ‘pengambek’ (Pemberi Modal) atau pemberi modal semacam ini,?

@ Jawaban:

Pemotongan langsung hasil penjualan ikan oleh pemberi hutang atau pengambek adalah haram karena ia mengambil bagian atau keuntungan sebagai imbalan dari hutang yang ia berikan. Oleh karenanya praktek semacam ini termasuk riba yang diharamkan. Sebagai solusi agar akad menjadi sah, maka: [1] Nelayan harus tetap diberi kebebasan untuk menjual hasil tangkapan kepada siapa pun. [2] Pemotongan hasil penjualan tidak dikaitkan dengan adanya hutang-piutang.  Melainkan Nelayan sebagai pihak yang berhutang dianjurkan untuk memberi imbalan sebagai tanda terima kasih kepada pemberi hutang atas inisiatif sendiri. [3]Transaksi antara nelayan dan pemilik modal tidak hanya dalam bentuk hutang-piutang, tetapi dapat dilakukan dalam bentuk investasi (qirad) atau kerjasama (syirkah) yang berbasis kejujuran, keadilan dan amanah.

b.      Bagaimana hukum belantik yang enggan membayar harga ikan yang telah dibelinya?

@ Jawaban:

Ketika telah terjadi jual beli, dan penjual telah menyerahkan barangnya maka pembeli wajib membayarkan harganya. Jika pembeli tidak membayarkan harganya maka akan menjadi hutang yang menjadi tanggungan sampai hari qiyamah selama belum dibayarkan.

c.       Bagaimana seharusnya agar tercipta keadilan antara nelayan, pemberi hutang dan pelelangan?

 

@ Jawaban:

1.      Nelayan harus tetap diberi kebebasan menjual hasil tangkapannya kepada siapapun.

2.      Pemotogan hasil penjualan tidak dikaitkan dengan hutang piutang. Melainkan Nelayan sebagai pihak yang berhutang dianjurkan memberi tambahan lebih sebagai tanda terimakasih pada si pemberi hutang atas inisiatif sendiri.

3.      Transaksi antara nelayan dan pemiliki modal tidak hanya dalam bentuk hutang-piutang, tetapi dapat dilakukan daalam bentuk investasi (qirad), atau kerjasama (syirkah).

@ Maraji’:

Tuhfatu al-Muhtaj, juz 19, hlm 233.

Al-fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz 5, hlm 444.

Is’adu ar-Rafiq, juz 1, hlm 144. Dll.

 

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (19 / 233)

{ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا } وَجُبِرَ ضَعْفَهُ مَجِيءُ مَعْنَاهُ عَنْ جَمْعٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَيْ مَثَلًا بِأَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ لِأَجْلِ الْقَرْضِ إنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إذْ هُوَ حِينَئِذٍ حَرَامٌ إجْمَاعًا وَإِلَّا كُرِهَ عِنْدَنَا وَحَرُمَ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ قَالَهُ السُّبْكِيُّ .

الفقه الإسلامي وأدلته (5/  444)

القرض الذي جرّ منفعة: قال الحنفية في الراجح عندهم: كل قرض جر نفعاً حرام إذا كان مشروطاً، فإن لم يكن النفع مشروطاً أو متعارفاً عليه في القرض، فلا بأس به، وعلى هذا ، لايجوز للمرتهن الدائن الانتفاع بالرهن إذا كان مشروطاً أو متعارفاً، وإن لم يكن كذلك فيجوز مع الكراهة التحريمية إلا أن يأذن الراهن فيحل، كما جاء في معتبرات كتب الحنفية، وقال بعضهم: لا يحل وإن أذن الراهن بالانتفاع. وهذا هو المتفق مع الروح العامة في الشريعة في تحريم الربا. وكذلك حكم الهدية للمقرض: إن كانت بشرط كره أي تحريماً، وإلا فلا (1) . وقال المالكية: يفسد القرض الذي جر نفعاً؛ لأنه ربا، ويحرم الانتفاع بشيء.

اسعاد الرفيق ج 1 ص 144

وكذالك يحرم على المكلف ان يقرض نحو الحراثين وينظرهم الي وقت الحصاد لزرعهم  ويشرط عليهم انهم يحصدون ذلك الزرع  ثم يبيعون عليه اي على ذلك المقرض طعامهم الذي حصدوه او غيره بارفع من السعر الذي في البلد حينئذ ولو كان ذلك الارتفاع الذي شرطه زائدا عن سعر البلد قليلا كان يقول لهم اقرضكم هذه المائة الي وقت الحصاد بشرط ان تبيعوا مني الحب مثلا بازيد من السعر في ذالك الوقت بكيلة مثلا فاذا جاء الوقت والسعر خمسة بدرهم  فيأخذ ستة به ويسمون ذالك المقضي وذلك لانه يجر نفعا للمقرض 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending di Blog

MENGENAL SANG MAHA GURU DARI TANAH MELAYU NEGERI JAMBI

     Para Ulama' Negeri Melayu Jambi  Beliau bernama Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin Jantan gelar sri penghulu, lahir pada t...