Praktis, simpel dan tidak ribet. Itulah ciri-ciri manusia modern. Makan ingin yang simpel, tidak perlu lama-lama menunggu dan banyak alat, lalu mereka membeli makanan instan. Begitu juga dalam hal minuman, mereka juga enggan bikin minuman khas daerahnya, lantas mereka membeli softdrink instan siap saji,
padahal yang mereka beli bukan minuman yang asing di dalam kehidupan, misalnya softdrink rasa asam dan sebagainya. Demikian pula mereka mulai enggan dengan membesihkan kotoran, entah itu najis atau hanya kotor, dengan menggunakan bahan yang lazim dipakai setiap hari (air), kemudian mereka membeli tissue sebanyak-banyaknya.
Dengan tissue ini mereka tidak perlu basah-basah membersihkan
kotoran yang mengenai pakaian atau tubuhnya. Mereka cukup membasahi tissue tersebut
dengan sedikit air setelah itu diusapkan pada tubuh atau pakaiannya yang
terkena najis (mutanajjis). Kondisi
seperti ini biasanya banyak terjadi di lingkungan masyarakat perkotaan. Dalam pandangan mereka, bersesuci dengan tissue itu sudah dapat
mensucikan.
Pertanyaan
Dari illustrasi diatas kita akan membahas, bagaimana fiqh menyikapi
persepsi masyarakat tersebut, apakah benar anggapan bahwa cara tersebut (membersihkan najis dengan tissue) sudah
bisa mensucikan?
Jawaban
Di kalangan para Juris Islam terjadi perbedaan pendapat. Kelompok
Syafi'iyyah berpendapat tidak cukup mensucikan sesuatu yang terkena najis hanya
diusap dengan menggunakan tissue yang dibasahi, seperti ungkapan yang
ada dalam kitab "Mughni al-Muhtaj" Juz 1 halaman 403:
وَالصَّقِيلُ مِنْ سَيْفٍ وَسِكِّينٍ وَنَحْوِهِمَا كَغَيْرِهِ فَلَا يَكْفِي
مَسْحُهُ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ غَسْلِهِ.
“Benda padat mengkilat atau
keras (yang terkena najis), baik itu pedang atau pisau dan semisal keduanya,
hukum mensucikannya ialah sama seperti mensucikan benda-benda lainnya yang
tidak padat atau keras. Oleh sebab itu, tidak cukup mensucikan hanya dengan
mengusap benda padat yang terkena najis tersebut, akan tetapi wajib membasuhnya”.
Masih dalam referensi yang sama dan halaman sama pula dinyatakan lagi:
وَلَوْ سُقِيَتْ سِكِّينٌ أَوْ طُبِخَ لَحْمٌ بِمَاءٍ نَجِسٍ كَفَى غَسْلُهُمَا
وَلَا يَحْتَاجُ إلَى سَقْيِ السِّكِّينِ وَإِغْلَاءِ اللَّحْمِ بِالْمَاءِ وَلَا إلَى
عَصْرِهِ عَلَى الْأَصَحِّ.
“Andaikata pisau disiram dengan air najis atau ada daging
dimasak dengan menggunakan air najis juga, maka cukup mensucikan keduanya
dengan membasuhnya, tidak perlu menyirami pisau
dan tidak perlu pula merebus lagi daging itu dengan air lain serta tidak perlu
juga menuntaskan air yang terkandung dalam daging itu dengan cara diperas”.
Dari dua paparan di atas, tampaknya Syafi'iyyah tidak
memberi peluang mensucikan najis dengan
cara mengusap, termasuk dengan menggunakan tissue, semua langkah
mensucikan harus dibasuh dengan air. Hal ini barangkali dapat dimaklumi karena dalam pandangan Syafi’iyyah cara mensucikan
barang yang terkena najis itu ada dua langkah, yaitu harus menghilangkan wujud
najisnya terlebih dahulu, baik bahan najisnya itu sendiri, baunya dan rasanya.
Setelah ketiga sifat najis ini hilang, baru langkah kedua yang harus dilakukan
yaitu dengan menuangkan air di tempat yang terkena najis tadi. Intinya,
sekalipun najis benar-benar sudah bersih, menurut Syafi'iyyah tetap harus
diakhiri dengan percikan air.
Sementara itu,
kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh
bersesuci dengan tissue yang dibasahi dengan air, jika:
1. Najis terdapat pada tempat yang padat dan keras sekiranya najis itu
tidak meresap ke bagian dalam, seperti kaca dan semacamnya.
Disebutkan dalam kitab "Radd
al-Muhtar" Juz 5 halaman 445:
(وَ) يَطْهُرُ (صَقِيلٌ) لَا مَسَامَّ لَهُ (كَمِرْآةٍ) وَظُفْرٍ وَعَظْمٍ
وَزُجَاجٍ وَآنِيَةٍ مَدْهُونَةٍ أَوْ خِرَاطِي وَصَفَائِحِ فِضَّةٍ غَيْرِ مَنْقُوشَةٍ
بِمَسْحٍ يَزُولُ بِهِ أَثَرُهَا مُطْلَقًا.
“Dan benda padat mengkilat yang tidak berpori-pori, misalnya kaca,
kuku, tulang, kaca, wadah yang dioles dengan minyak, khirathi, bidang lebar
yang terbuat dari perak yang tidak diukir, mensucikan itu semua cukup dengan
usapan yang menghilangkan bekasnya secara mutlak”.
Ungkapan mirip
dapat dilihat pula dalam kitab "al-'Inayah Syarh al-Hidayah" Juz
1 halaman 332, sebagai berikut :
(وَالنَّجَاسَةُ إذَا أَصَابَتْ الْمِرْآةَ أَوْ السَّيْفَ اكْتَفَى
بِمَسْحِهِمَا) لِأَنَّهُ لَا تَتَدَاخَلُهُ النَّجَاسَةُ وَمَا عَلَى ظَاهِرِهِ يَزُولُ
بِالْمَسْحِ .
“Dan najis yang mengenai kaca[1]
atau pedang, untuk mensucikannya cukup dengan diusap karena najis yang
mengenainya tidak menyerap sehingga untuk mensucikan bagian pedang atau kaca
yang tampak cukup dengan diusap saja”.
Ungkapan yang
sama dengan ujaran di atas, juga disampaikan salah seorang pengikut Hanafiyah
yang lain dalam kitab "Matn Bidayah al-Mubtadi fi Fiqh al-Imam Abi
Hanifah" Juz 1 halaman 8:
وَالنَّجَاسَةُ إِذَا أَصَابَتْ المَرْآةَ أوِ السَّيْفَ اكتَفَى بِمَسْحِهِمَا
وَإِنْ أَصَابَتْ الأَرْضَ نَجَاسَةٌ فَجَفَّتْ بِالشَّمْسِ وَذَهَبَ أَثَرُهَا جَازَتْ
الصَّلاَةُ عَلَى مَكَانِهَا.
“Dan najis yang mengenai kaca atau pedang, untuk mensucikannya
cukup dengan diusap, dan bila najis itu mengenai tanah lalu mengering sebab
terik matahari dan bekasnya pun hilang, maka boleh melaksanakan shalat di tanah
itu (tanah itu suci)”.
2. Najisnya berupa benda atau bukan, baik kering
ataupun basah. Seperti ungkapan Ibnu 'Abidin dalam kitab "Radd al-Muhtar" Juz 2 halaman 450 berikut
ini :
وَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهَا لَوْ يَابِسَةً ذَاتَ جِرْمٍ تَطْهُرُ بِالْحَتِّ
وَالْمَسْحِ بِمَا فِيهِ بَلَلٌ ظَاهِرٌ مِنْ خِرْقَةٍ أَوْ غَيْرِهَا حَتَّى يَذْهَبَ
أَثَرُهَا مَعَ عَيْنِهَا ، وَلَوْ يَابِسَةً لَيْسَتْ بِذَاتِ جِرْمٍ كَالْبَوْلِ
وَالْخَمْرِ فَبِالْمَسْحِ بِمَا ذَكَرْنَاهُ لَا غَيْرُ ، وَلَوْ رَطْبَةً ذَاتَ جِرْمٍ
أَوْ لَا فَبِالْمَسْحِ بِخِرْقَةٍ مُبْتَلَّةٍ أَوْ لَا
"Sesungguhnya najis kering yang berupa benda bisa suci
dengan cara dikerok atau diusap dengan sesuatu (tissue, misalnya) yang dibasahi
baik sesuatu itu secarik kain, atau lainnya sehingga bekas najis itu menjadi
hilang beserta benda-bendanya. Seandainya najis tadi kering tapi tidak ada
wujudnya seperti kencing dan khamr, maka juga cukup disucikan dengan cara
diusap dengan sesuatu yang telah kami sebutkan di atas. Bila najisnya terdiri
dari najis basah, ada wujudnya atau tidak, maka cukup diusap dengan secarik
kain, baik dibasahi atau tidak”.
Wallahu a’lam
Bi al-shawab
Disadur dari Ghuroba' Percik-percik pemikiran Santri
[1]
Dalam konteks kekinian ungkapan kaca dalam kitab klasik dapat diartikan
pula dengan kramik dan sejenisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar